Ini adalah kali kdua saya melalui Hari Raya Idul Fitri sejak pindah ke Jakarta pada awal 2017, menambah daftar ketidakpulangan saya untuk berlebaran di kampung selama 4 tahun berturut-turut. Tahun lalu, saya menghabiskan hari-hari lebaran dengan secara disiplin menyelesaikan proposal penelitian saya. Saya hanya keluar dari apartemen untuk menghirup udara segar atau jogging. Tahun ini, di tengah-tengah riuh rendah perseteruan cebong-kampret yang tidak selsai-selesai, bahkan menemukan bahan bakar baru, klaim tol yang dikawinkan dengan gerakan #GantiSempak2019, saya menghabiskan hari saya menjelang lebaran dengan banyak desk research di kantor untuk topik yang amat saya sukai. Sepulang shalat Ied pun, saya langsung meluncur ke kantor.
Apakah saya tidak punya keinginan untuk berlebaran di kampung halaman dengan keluarga dan teman lama? Tentu saja saya ingin. Tapi, saya memilih untuk mengencangkan ikat pinggang untuk rencana-rencana ke depan yang mudah-mudahan berhasil. Lagipula, sudah sejak lama saya tidak menempatkan lebaran sebagai tradisi harus pulang kampung. Untuk tujuan silaturrahmi, saya mengunjungi keluraga saya pada bulan yang lain dimana harga tiket pesawat lebih murah dan saya bisa fokus bercengkerama dengan keluarga dan tidak terganggu oleh euforia perayaan. Buat saya, tetap menyambung hubungan dan pulang untuk kembali mengingat siapa saya dan apa yang saya cari dalam hidup, itu lebih penting. Teman saya terheran-heran karena saya senang-senang saja berlebaran sendirian di Jakarta yang sepi ini. Well, kapan lagi sih bisa merasakan Jakarta yang biasanya sesak menjadi agak lega.
Kolega saya sedang mencoba untuk mewujudkan satu project ambisius yang setiap kali membicarakannya membuat kami selalu bersemangat. Mengerjakan proyek ini saya merasa seperi sedang memuaskan keingintahuan saya akan hal-hal aneh seperti yang biasa saya lakukan, seperti memetakan geneology raja-raja di Eropa hanya untuk menemukan bahwa sebagian besar dari mereka punya hubungan darah. Nah, proyek ini serupa dengan itu namun dalam konteks Indonesia dan jauh lebih kompleks. Selain itu, menemukan orang dengan etika kerja yang serupa sangat menyenangkan.
Menyusuri jalan Kemang Raya sore-sore keluar dari kantor, saya menemukan suasana Jakarta yang sangat jauh berbeda. Jalanan lengang (untuk ukuran Jakarta tapi ya) membuat saya lebih bisa menikmati suasana Kemang. Suasana ini akan segera lenyap begitu pemudik kembali ke Jakarta. Jumlah itu biasanya ditambah dengan arus urbanisasi baru dari orang-orang daerah yang mengikuti sudara, kerabat atau kenalan mereka untuk menggapai mimpi Jakarta, the big durian dream. Arus urbanisasi dari kampung yang membawa orang-orang dengan “kebiasaan kampung” (duh maaf banget ini stereotyping). Aku pikir, ini yang membuat banyak common sense di Jakarta tidak berlaku. Misalnya, aku sudah antri manis di automatic gate stasiun KRL, halte Transjakarta atau supermarket, eh ada dedek-dedek tanggung atau ibu-ibu yang dengan tanpa merasa bersalah sedikitpun menyerobot antrian. Aku pikir, mereka tidak bermaksud jahat. Hanya saja konsep mengantri belum tertanam dalam benak mereka. Ketika ditegur, baru mereka tersadar bahwa tindakannya itu melukai hak orang lain. Belum lagi masalah toilet umum. Fasilitias tersebut di pusat perbelanjaan di sekitar Jakarta Utara atau Jakarta Timur biasanya becek dan bau dibandingkan dengan toilet di Pusat Perbelanjaan sekitar selatan Jakarta atau sekitar Sudirman dan Kuningan yang membuat betah untuk lama-lama menyelesaikan hajat, bisa sambil baca buku malah.
Urbanisasi ke Jakarta mungkin bisa membuat orang naik tingkat dalam hal pendapatan, tapi belum tentu membuat mobilisasi vertikal secara kebiasan dan pengetahuan. Maksud saya, banya orang yang sudah hidup di Jakarta tapi kebiasaan masih belum mencerminkan kebiasaan warga urban yang maju. Asumsi super simplifikasi saya adalah karena orang-orang ini ketika hijrah ke Jakarta mereka tidak berbaur dengan orang-orang dari berbagai kalangan (duh maaf lagi, ini terkesan mengamini kelas sosial). Aku pikir bukan karena mereka tidak mau bercampur dengan berbagai kalangan tetapi ada hambatan kelas di sana, class barrier. Mereka tidak bisa memanfaatkan kesempatan untuk mobilisasi vertikal karena modal (pendidikan, jaringan-baik jaringan keluarga maupun professional) tidak mereka punyai. Oleh karena itu, gap antar kelas atau ketimpangan (inequality) di kota ini akan tetap lebar menganga. Tentu saja ini asumsi saya bukan kesimpulan saintifik yang didukung data sosial ekonomi dan demografi, hanya hasil pengamatan ala-ala dengan sample yang sangat sedikit.
Tulisan teman saya ini, sekaligus data scientist favorit saya, bisa menggambarkan ketimpangan di Jakarta. Tulisan dia dilengkapi dengan data dan visualisasi data yang menggambarkan sebaran geografis kekayaan di Jakarta.
Oke, sebenarnya coretan saya ini intinya cuma mau bilang bahwa saya baik-baik saja dengan tidak mudik lebaran. Lagian, saya terbebas dari pertanyaan kapan kawin dan turunannya.
Recent Comments